Sabtu, 19 Juni 2010

Peran Pesantren Dalam Rekonstruksi Akhlak


KH. Abdurrahman Wahid dalam bukunya(Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren h, 171). Ia berpendapat, bahwa pondok pesantren seperti akademi militer atau biara (monastery, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.

Sehingga, dengan faktor tersebut, penulis berpendapat, di tengah-tengah terus rusaknya akhlak dari “atap langit” sampai “akar bumi” bangsa kita ini. Pondok pesantren akan sangat tetap memungkinkan untuk tetap survive sebagai ‘’transmisi atau agen akhlakulkarimah’’. untuk “memfilter” keluar-masuknya budaya. Demi terimplementasinya akhlakulkarimah dalam berbagi aspek kehidupan masyarakat.

Hal tersebut, sesuai pendapat Clifford Geertz yang dituangkan dalam bukunya (‘The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker’, vol, 2, h, 228-249), bahwa kiai pesantren punya peran besar sebagai “makelar budaya” (Cultural Broker).

Tetapi, mentelaah pendapat Geertz itu. Penulis tetap berpendapat: “memfilter budaya”, adalah dalam konteks menuju terimplementasinya akhlakulkarimah dalam kehidupan manusia. Namun, pesantren akan bisa tetap berfungsi sebagai "fiter budaya" juga, bila di masing-masing pondok pesantren, pendidikan akhlak masih dominan dan dimaksimalkan.

Sebab, dengan optimalnya akhlakulkarimah(minimalnya pendidikan) di masing-masing pesantren itulah, maka pesantren akan tetap mampu untuk berperan aktif dalam “memfilter budaya”, karena dengan adanya akhlakulkarimah itu pula, dari sekian banyak gelombang budaya yang terus kencang mengalir dan membanjiri manusia, tapi komunitas pesantren (utamanya santri di masing-masing persantren) mudah menerima terhadap hasil "penyaringan budaya” yang dipimpin oleh kiyai dan kemudian para santri langsung melaksanakan dan dengan sendirinya mengalirkannya budaya baru yang telah "disaring" itu, kepada publik(lingkungan) setelah mereka(para santri) kembali ke kampung masing-masing. Untuk menerapkan budaya dalam kehidupan masyarakat yang tidak bertabrakan dengan akhlakulkarimah.

Namun sebaliknya, bila akhlakulkarimah(akhlak terpuji) telah pias di dalam kehidupan pesantren, dan dikalahkan oleh akhlakussayyi’ah(akhlak tercaci) maka pesantren dalam konteks "makelar budaya" tidak akan begitu banyak berperan, atau bahkan sama sekali tidak akan bisa berperan.

Hal itu, bisa dilihat dan dibuktikan dalam komunitas akademisi yang free _expression, baik di dalam, utamanya di luar kampus(kost-kostan). Dengan sendirinya tidak memungkinkan dunia kampus untuk bisa berfungsi sebagai “medium budaya”, tetapi lebih tepat dan lebih empuk sebagai "obyek atau mangsa budaya". Kecuali, secara individual komunitas akademisi punya kemampuan untuk melakukannya, dan tentunya, dengan lingkungan(kost) yang tidak mendukung itu, hal itu minim sekali. Karenanya, sangatlah tepat sekarang-sekarang ini, banyak bermunculan pesantren sebagai asrama mahasiswa. Sehingga merupakan salah satu faktor yang cukup signifikan untuk mengusung(moral) generasi yang berakhlakulkarimah(mengenai hal ini, bisa lihat tulisan saya “mengkaji Ulang Pondok Pesantren Mahasiswa”, di www.pesantrenvirtual.com, awal publikasi tgl. 2/11/2004 ).

Pendapat yang penulis ungkapkan di atas tersebut, sesuai dengan statement Albert Schweitzer, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Falsafah al-Hadhoroh, h. 5-6), bahwa pembentukan budaya manusia harus didasari dengan pendidikan akhlak.

Dan memang, di tengah runtuhnya akhlak bangsa kita ini. Seiring dengan memuncaknya gejolak hedonisme ini, pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai markas religius(Islam), dalam kafabilitasnya sebagai ‘’agen’’ akhlakulkarimah, jelas harus eksis dan survive mengajarkan dan menuntun para santri(masyarakat) untuk secara perlahan menerapkan akhlakulkarimah dalam hidup dan kehidupan, baik horisontal maupun vertikal dalam berbagai segi dan sendinya. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik: “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak”(Musnad al-Imam Ahmad, vol, 1, h, 381).

Hal itu, sesuai kondisi awal hadirnya pesantren, ketika itu bangsa Indonesia dalam kondisi hewani atau Jahiliah(sebelum datangnya Islam), dan pesantren (dengan agama Islam) hadir untuk mengusung manusia ke arah yang bermoral atau manusiawi.

Termasuk ketika para elite pesantren “menyelewengkan” institusi pesantren untuk “dimanfaatkan sebagai alat” di dalam gelanggang politik, komunitas pesantren harus tetap menjadikan akhlakulkarimah sebagai salah satu “senjata peperangan” di dalam gelanggang yang semestinya “harus” demokratis itu, demi untuk menjaga identitas pesantren, dan menanamkan “benih demokrasi” yang berawal dari kebersihan.

Meski pun dewasa ini, pendidikan akhlak itu, oleh sebagian golongan kadang hanya dianggap sebuah “konservatisme” demi untuk mengkultuskan sang kiyai, katanya. Misalnya saja, karya syeikh Ibrohim bin Ismail, sebuah syarah dari kitab Ta’lim al-Muta’allim; thoriq at-ta’alum karya syeikh al-Zarnujy , atau Akhlaq al-Banin (ibtida’iyyah) karya Umar Bin Ahmad Baradja, dan pelajaran-pelajaran akhlak lainya, yang masih eksis diajarkan di berbagai pesantren, utamanya pesantren tradisional.

Namun, asumsi sebagian orang tersebut, oleh kalangan elite pesantren biasa dianggap hanya sebagai faktor ---yang mungkin— bisa menunjang terhadap arus perdebatan Islam yang semakin gencar sekarang-sekarang ini. Dan hal itu, sama sekali tidak bisa “menggoyang” terhadap eksistensi pendidikan akhlak yang masih dan harus dominan dilaksanakan oleh masing-masing pesantren. Karena dengan tertanamnya akhlakulkarimah itu, akan turut melancarkan peredaran ilmiah, di antaranya anak manusia akan mengetahui ‘’di mana’’ posisinya dalam siklus ilmiah, sebagai guru, atau murid, atau pendengar, dan atau hanya berposisi sebagai pecinta saja !! ?. Dan berbagai fungsi lainya.

Dan memang, dalam konteks pendidikan, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi sekaligus mendidik (akhlak). Yang mana akhlakulkarimah itu, sekarang ini dalam liberalisasi atau sekularisasi dunia akademisi semakin terpuruk, utamanya “iklim pergaulan” antara laki-laki dan perempuan, dan yang paling memprihatinkan adalah di luar kampus(tempat-tempat kost), dalam komunitas akademisi perguruan tinggi Islam sekali pun.

Alasan mereka singkat saja: “Kita ingin jadi Muslim moderat”. Meskipun di antara mereka banyak kedapatan yang “tidak jelas” landasan hukum yang dipegang, dan juga dalam ketidak tauan terhadap pegangan hukum, dan kurang siapnya untuk melakukan kewajiban agama itu. Ironinsnya, mereka banyak yang mengatakan: “kita ini manusia biasa, bukan Nabi yang ma’shum(terjaga dari maksiat)”. Sungguh menggelikan sekaligus memprihatinkan, bukan ! ? .

Memang benar hal tersebut. Tapi persoalannya, kenapa kita tidak berfikir dan mengatakan : ‘’Mari kita sama-sama untuk terus berusaha meningkatkan ketakwaan kita, dengan cara yang menunjangnya, misalnya menjauhi tempat-tempat yang dikenal sangat jauh dari akhlak terpuji, dan berpotensi dengan akhlak tercaci(kemaksiatan), seperti tempat kost yang umumnya dan dikenal sebagai tempat yang rusak dan kotor itu. Karena dalam hukum Aqli(hukum logika), berada di tengah kobaran api, kita akan terbakar, di tengah lautan akan tenggelam’’. Bukankah berfikir demikian itu, kita lebih ilmiah ?.

Ironinya lagi, telah terjadi “pemelesetan agama” dalam budaya bahasa, sehingga sering terlontar dari mereka, agama adalah fanatisme belaka. Tetapi, mereka tidak pernah menyadari bahwa dirinya berada dalam fanatisme kesalahannya.

Sungguh menggelikan, selama ini, kalimat fanatik hanya sering dilontarkan kepada agama. Padahal, aspek etimologi, kalimat fanatik bisa diterapkan dan dirangkai dengan berbagai kalimat lainnya. Misalnya fanatik dengan kesalahan, fanatik dengan seni, fanatik dengan berdagang, dan lain-lainnya. Inilah, kiranya salah satu bukti penyelewengan budaya bahasa dewasa ini, utamanya dalam komunitas muda. Dan mungkin juga diakibatkan karena kurang memahaminya terhadap ilmu bahasa. Sekali lagi, “Sungguh menggelikan dan memprihatinkan, bukan ?”. Agama dianggap fanatisme, tetapi kesalahan didewa-kannya !!!.

Fenomena dan argumentasi di atas tersebut, lagi populer di kalangan “terpelajar”, baik pelajar umum utamanya pelajar perguruan tinggi agama Islam saat ini yang syok berwawasan ilmiah. Dan dari situ, dapat disimpulkan, betapa para pelajar Indonesia saat ini, ingin membuat argumentasi berdasar agama, tetapi miskin nuqtoh(nilai) ilmiah. ‘’Mungkin inilah, ‘hasil’ dari ‘madzhab Ulil Abshor Abdulloh(demikian eja’an Arabnya) cs’, atau yang biasa ditulis Ulil Absar Abdalah, yang di tengah-tengah semakin terpuruknya bangsa Indonesia dalam amaliah agama(akhlakulkarimah), Ia ’memproklamasikan group lawak’ bernama JIL(Jaringan Islam Liberal), yang katanya madzhab masa depan itu’’. Meskipun, sampai sekarang belum jelas, ada yang mengikuti atau tidak, kecuali sedikit orang yang punya kepentingan(pribadi) yang sama dengannya ?.


Terlepas dari ’’group lawak atau banyolan’’ Ulil cs. Tapi, harus diakui, gejala semacam itu, kini telah menjangkit dan merayap di berbagai lingkungan pesantren, yang umumnya diberi label pesantren modern, atau pesantren terpadu, yang lagi marak sekarang-sekarang ini. Banyak terdapat pesantren, yang digagas oleh orang-orang “tidak kenal” dengan pesantren, kondisi di dalamnya antara santri putra-santri putri, tidak beda dengan SLTP/SMU di luar pesantren, yang siswa-siswinya siang malam terbiasa dengan “iklim pergaulan” kost-kostan itu, ditambah lagi santri putra-putri, tinggal dalam satu lingkup asrama. ”Sekedar untuk diketahui, di sini penulis tidak memposisikan diri sebagai komunitas tradisionalis atau modernis, tetapi memaparkan di antara profil pondok pesantren yang ada sekarang ini”.


Maka, dapat diambil kepahaman, bahwa betapalah fenomena kehancuran akhlak itu, terus mengalir dan menyerang masuk ke berbagai “saluran, ruangan, atau rongga-rongga, dan sel-sel” komunitas terpelajar. Kiranya, diakibatkan oleh satu hal, yaitu “pemelesetan dan penyelewengan” dari eksistensi globalisasi dan demokrasi.


Fungsi Rekonstruksi Akhlak


Kita telah lama menanggung dukacita dan atau derita, dengan terjadinya berbagai "ganjalan", dalam berbagai sektor atau bidang hidup dan kehidupan. Mulai ekonomi, pendidikan, politik dan lainnya, baik individual, golongan, bahkan sampai tatanan berbangsa dan bernegara. Yang diakibatkan oleh, mulai kriminalitas para gepeng di pasar, preman di terminal maupun kriminalitas para pembantu rakyat(pejabat) dari level RT/RW sampai tingkat republik. Dapat diyakini, itu semua merupakan di antara bukti dari ambruknya akhlakulkarimah, atau merosotnya moralitas bangsa Indonesia dari posisi "akar bumi" sampai "atap langit".

Hal tersebut, sesuai pandangan Imam Abu al-Hasan al-Mawardi dalam kitabnya (Adab ad-dunya wa-addin, h. 115), dengan tegas berpendapat, bahwa dekadensi akhlak merupakan hal paling cepat untuk menghancurkan seluruh bumi dan sendi-sendinya. Pendapat tersebut cukup logis dan realistis, karena dengan ambruknya akhlak, maka lahirlah korupsi, pencurian, dan berbagai kriminalitas atau penyelewengan lainnya yang merugikan bangsa dan negara, baik tatanan bermasyarakat maupun pemerintahan.

Karenanya, sangatlah tepat Dr. Gustave Le Bon dalam konteks pendidikan, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Ruh at-Tarbiyah, h. 337). Ia berpendapat, bahwa pendidikan akhlak adalah bagian dari permasalahan-permasalah utama yang tidak bisa disepelekan.

Sebab, penulis berpendapat, dengan kemuliaan akhlak, suatu bangsa akan menjadi terhormat, sebaliknya citra suatu bangsa akan ambruk dengan sendirinya bila rusak akhlaknya. Karena, menurut Dr. Gustave Lebon dalam buku lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (as-sunan an-Nafsiah Li tathowwur al-Umam. h.,172). Bahwa kehancuran suatu bangsa adalah akibat dari rusaknya akhlak bangsa itu sendiri.

Sehingga, menurut Umar ibnu Ahmad Baroja, dalam bukunya (ibtida’iyyah: al-Akhlaq lilbanin; littulabi al-madaris al-Islamiyah bi Indunisia, vol, 1 h, 4), bahwa untuk melekatkan akhlakulkhasanah(akhlak baik) pada pribadi manusia, maka semenjak dini pendidikan akhlak sangat penting, dan harus ditanamkan pada setiap anak-anak manusia, agar ia tumbuh-berkembang bersama akhlak yang terpuji, karena pada setiap pribadi manusia terdapat potensi akhlak terpuji (akhlakulkarimah) dan akhlak tercaci(akhlakussayyi’ah).

Jadi, untuk membangun suatu bangsa, memang terdapat banyak aspek yang perlu dilakukan, di antaranya meningkatkan pendidikan, menghidupkan gerak ekononmi, kedewasaan berpolitik dan lain sebagainya. Namun, yang paling esensial adalah reorientasi moral, baik komunitas tua, utamanya tunas-tunas bangsa, sebagai generasi yang jelas sangat dibutuhkan untuk menentukan maju-mundurnya suatu bangsa, dan sekarang akhlaknya sudah sangat "tercemar atau terkena volusi" itu.

Hal tersebut di atas, sesuai hasil penelitian sejarahwan terkenal Edward Gippon terhadap runtuhnya emperium Romania, dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Ambarathur ar-Rumaniah wa Suqhutuha, Vol,1, h. 230-259). Ia berpendapat, faktor utama yang menyebabkan hancurnya Romania, adalah karena pada waktu itu manusia-manusianya telah sangat jauh dari nilai-nilai moral, di antaranya mereka terlena dengan kemewahan yang berlebih-lebihan, dan para pemimpinnya terjebak dengan pertikaian dalam memperebutkan jabatan dengan mengakses energi machiavellianisme atau politik menghalalkan segala cara, serta berbagai sikap-sikap dan tindakan amoral lainnya.

Fenomena tersebut, kini sangat kentara melanda bangsa kita. Ditambah lagi, kita mengalami estafeta musibah bencana alam yang terus menghunjam tanah air kita, kiranya hal itu, sebagai bukti adanya warning dari Sang Maha Kuasa, kepada makhluknya(bangsa kita khususnya), yang tak jua kunjung insaf atau bertaubat. Sebagaimana yang banyak ditegaskan oleh ayat-ayat al-Quran, dan sunnah Rasulullah SAW(tidak untuk dibahas di sini).

Kiranya hal-hal tersebut, cukup sebagai bukti harus adanya ‘’rekonstruksi moral individual’’, baik dalam konteks etika sosial sesama manusia(horisontal), maupun vertikal(kepada sang pencipta). Mulai ‘’atap langit’’ sampai ‘’akar bumi’’ warga negara Indonesia. Utamanya yang mengenakan seragam(pejabat) sebagai tanda bahwa Ia terkait pengabdian dengan masyarakat, namun selalu menghianati dan menyusahkan rakyat yang menitipkan amanat padanya. Sehingga, akibat ‘’prestasi mereka’’, bangsa kita mendapat honoris causa sebagai negara yang mendapat ‘’rangking’’ kedua terkorup di dunia ini.


Penutup

TERLEPAS dari corak tradisionalisme, atau modernisme, atau sekularisme, atau liberalisme dan seterusnya. Tetapi sebagai cermin tentang maju-mundurnya totalitas pesantren, dengan adanya akhlakulkarimah sebagai proyek (garapan utama) sekaligus identitas pesantren itu. Dan karena pesantren punya faktor penunjang untuk memudahkan ‘menggarap’ hal tersebut(akhlak), sebagaimana telah dibahas di atas tadi.

Di sini muncul pertanyaan penting untuk langsung dijawab oleh kalangan pesantren, sebagai tolok-ukur atau barometer dari keberhasilan-kemerosotan pendidikan(akhlak) yang merupakan bagian dari dakwah itu, "masih eksis dan sudah maksimalkah, pendidikan dan amaliah akhlakulkarimah di setiap pondok pesantren, dan berbagai komunitas yang punya 'hubungan darah' dengan pesantren ? ".

Bila pertanyaan ini tidak bisa segera dijawab dengan bukti, maka akan mendapat resiko nyata, secara perlahan dengan sendirinya pondok pesantren akan bergeser ke poros yang kurang menguntungkan, atau minimalnya kehilangan ‘’identitasnya’’ sebagai pesantren, dan(dalam konteks pendidikan) berubah menjadi sekolah berasrama.

Juga, tentu kredibilitas dan kafabilitas pesantren akan “pias” dengan sendirinya, serta pondok pesantren tidak lagi akan bisa ikut berperan dalam membangun bangsa, dengan cara mengusung generasi yang berakhlak “sehat” , bila di dalam pesantren akhlakulkarimah yang merupakan modal utama untuk membangun bangsa itu, telah “menipis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar